27 Tahun Reformasi: Saharuddin Gema Suara Sumut di Sarasehan Aktivis Lintas Generasi, Ingatkan Demokrasi Belum Selesai

Jakarta, 21 Mei 2025 – “Ketika sejarah mulai dilupakan, maka pengkhianatan terhadap masa depan hanya tinggal menunggu waktu.”

Kalimat penuh peringatan itu membuka rangkaian Sarasehan Aktivis Lintas Generasi dalam peringatan 27 Tahun Reformasi, Rabu (21/5/2025), di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan. Acara ini bukan sekadar seremoni, tapi seruan keras untuk membangkitkan kembali nyala bara reformasi yang mulai meredup di tengah gempuran pragmatisme dan kekuasaan yang membungkam.

Dari Sumatera Utara, hadir aktivis antikorupsi Saharuddin, bersama aktivis muda Ariswan, membawa semangat perjuangan rakyat daerah menuju panggung nasional. Keduanya menegaskan bahwa Sumut tidak akan diam ketika demokrasi digerus kekuasaan yang abai.

Sarasehan ini diwarnai kehadiran para tokoh reformasi dan pejuang demokrasi lintas generasi seperti Dr. Hariman Siregar, Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, Masinton Pasaribu, hingga sejumlah pejabat negara dan akademisi seperti Wamenkumham Mugiyanto, Wamensos Agus Jabo Priyono, Wamenaker Immanuel Ebenezer, Wamenperin Faisol Riza, Wakil Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari, Robertus Robet, dan Wahab Talaohu.

Dalam keterangannya, Saharuddin menyuarakan kegelisahan para aktivis:

> “Aktivis bukan musuh negara. Kami adalah pagar terakhir demokrasi. Ketika parlemen bungkam, ketika hukum ditarik oleh kekuasaan, maka aktivislah yang harus berdiri dan bersuara.”

Ia menegaskan bahwa perjuangan tidak boleh padam. Forum-forum kecil, diskusi terbatas, bahkan obrolan warung kopi pun harus menjadi medan menjaga kewarasan demokrasi.

> “Demokrasi tidak diwariskan, ia diperjuangkan setiap hari, dengan ide dan keberanian. Jangan pernah lelah menyulut api.”

Ariswan, perwakilan generasi muda yang turut hadir, menambahkan bahwa generasi sekarang tak boleh hanya jadi penonton sejarah.

> “Banyak kebijakan hari ini menjauh dari rakyat. Kita tak bisa diam. Kalau kita diam, kita sedang menggali makam untuk demokrasi yang sekarat.”

Ia mengajak aktivis muda untuk bangkit: tidak tunduk pada ketakutan, tidak terjebak pencitraan media sosial, dan tidak silau oleh kekuasaan.

> “Reformasi belum selesai. Ini bukan masa tenang. Ini masa perang ide. Jika kita tak bergerak, maka kita sedang menyaksikan demokrasi mati pelan-pelan—dicekik oleh apatisme dan diamnya orang baik.”

Sarasehan ini menjadi suara hati nurani bangsa: bahwa perjuangan belum usai. Di negeri yang berdarah demi demokrasi, menjadi aktivis adalah tugas sejarah. Mereka yang diam hari ini, akan dikenang sebagai generasi yang membiarkan cita-cita reformasi dikubur hidup-hidup.T/MS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *