Langkat, Sumut — 24 Oktober 2025
Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) kembali menjadi sorotan publik di Kabupaten Langkat. Kali ini, mencuat dugaan istri seorang Kepala Dusun ikut menjadi penerima bantuan, padahal secara aturan dan etika jabatan hal itu tidak dibenarkan.
Kasus ini bermula dari munculnya nama berinisial SF, warga Dusun III Desa Paya Rengas, Kecamatan Hinai, yang tercatat sebagai penerima manfaat BPNT tahun 2025. Fakta yang menarik perhatian publik, SF ternyata merupakan istri dari Kepala Dusun III Desa Paya Rengas, Hasan Basri — seorang aparat desa yang turut berperan dalam proses verifikasi dan usulan penerima bantuan sosial di tingkat lokal.
Kades Benarkan dan Proses Pengunduran Diri
Kepala Desa Paya Rengas, Sartiman, saat dikonfirmasi pada Jumat (24/10/2025) membenarkan informasi tersebut. Ia menyatakan bahwa pihaknya telah menerima surat pengunduran diri dari SF dan sedang memproses secara administratif di Kantor Desa.
“Benar, atas nama berinisial SF tercatat sebagai penerima BPNT. Namun yang bersangkutan telah menyampaikan surat pengunduran diri dan sedang kami proses di tingkat desa,” jelas Sartiman.
Sementara itu, Hasan Basri, Kepala Dusun III, juga mengakui bahwa istrinya menjadi penerima BPNT tahun 2025, namun menegaskan bahwa ia sudah membuat surat pengunduran diri.
“Benar, istri saya tercatat sebagai penerima BPNT tahun ini, dan kami sudah membuat surat pengunduran diri yang sedang diantarkan ke kantor desa,” ujarnya kepada redaksi.
Aktivis Nilai Ada Pelanggaran Etika dan Potensi Konflik Kepentingan
Kasus ini mendapat sorotan tajam dari Ariswan, Koordinator Nasional Presidium Rakyat Membangun Peradaban (PERMADA).
Menurutnya, tindakan tersebut bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga pelanggaran etika jabatan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest).
“Kepala Dusun memiliki fungsi verifikatif dalam menentukan penerima bantuan sosial. Maka ketika istri Kepala Dusun menjadi penerima BPNT, jelas ada benturan kepentingan yang melanggar asas-asas pemerintahan yang baik,” tegas Ariswan.
Ia mengutip Pasal 10 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang pejabat publik bertindak dalam situasi benturan kepentingan.
Ariswan juga meminta Inspektorat Kabupaten Langkat, Kejaksaan Negeri Langkat, dan Polres Langkat untuk melakukan audit dan pemeriksaan menyeluruh terhadap mekanisme penyaluran BPNT di wilayah tersebut.
Regulasi Jelas Larang Aparat Desa dan Keluarganya Terima Bansos
Beberapa regulasi yang menjadi dasar hukum larangan tersebut antara lain:
- Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai — penerima hanya keluarga miskin atau rentan sosial sesuai DTKS.
Kepala Dusun sebagai penerima penghasilan dari dana desa tidak termasuk kategori miskin. - Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2018 tentang Program Sembako — penerima manfaat adalah keluarga miskin dan rentan sosial, bukan keluarga pejabat publik.
- Pernyataan Resmi Kemensos RI menegaskan bahwa ASN, pejabat negara, dan keluarganya tidak berhak menerima bansos (Sumber: Antara News).
- Kebijakan Dinas Sosial Lombok Tengah juga menjadi preseden, di mana istri Kepala Desa dan Kepala Dusun dilarang menerima PKH/BPNT (Sumber: Metrontb.com).
Berpotensi Langgar Hukum dan Etika Publik
Secara yuridis, kasus ini bisa dikaitkan dengan:
- Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika ada penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
- Pasal 17 dan 18 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang keputusan dalam situasi konflik kepentingan.
Langkah yang dapat ditempuh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum antara lain:
- Audit administratif oleh Inspektorat Kabupaten Langkat.
- Verifikasi ulang data penerima oleh Dinas Sosial Kabupaten Langkat dan Kemensos RI.
- Penyelidikan jika ditemukan unsur penyalahgunaan jabatan.
- Pengembalian dana bantuan ke kas negara jika penerima tidak memenuhi syarat.
Pengunduran Diri Tak Hilangkan Unsur Pidana
Meski SF telah mengundurkan diri, Ariswan menegaskan bahwa pengunduran diri tidak menghapus potensi pidana jika terbukti terjadi penyalahgunaan jabatan.
“Pengembalian bantuan atau pengunduran diri tidak otomatis menghapus unsur pidana. Dalam banyak temuan BPK, pengembalian dana tidak berarti bebas dari tanggung jawab hukum,” katanya.
Ia menambahkan, kasus ini harus menjadi preseden nasional agar desa-desa di Indonesia lebih berhati-hati dalam mengusulkan penerima bansos.
“Ini bukan sekadar soal bantuan pangan, tapi soal moralitas kekuasaan di akar rumput. Program sosial harus bersih dari nepotisme agar keadilan benar-benar dirasakan rakyat kecil,” ujarnya.
Penutup: Integritas Aparat Desa, Benteng Terakhir Keadilan Sosial
Kasus istri Kepala Dusun penerima BPNT di Paya Rengas menjadi pengingat penting bagi seluruh aparatur desa di Indonesia.
Integritas dalam penyaluran bantuan sosial bukan hanya soal administrasi, tapi juga cerminan moral dan tanggung jawab publik.
“Negara tidak boleh menutup mata terhadap pelanggaran sekecil apa pun dalam penyaluran bansos. Ketika pejabat atau keluarganya ikut menikmati hak rakyat miskin, maka yang miskinlah yang dirampas haknya,” tegas Ariswan menutup keterangannya.Red
#BPNTLangkat #BansosTepatSasaran #IntegritasDesa #HinaiLangkat #LangkatBersih #PERMADA #StopNepotismeDesa #BantuanUntukRakyat #EtikaJabatanPublik #BansosTransparan

